ETIKA DAN ESTETIKA WAYANG
Atik Rodiawati, S.Pd
17709251025
PPS Pendidikan Matematika 2017
Refleksi
kali ini adalah hasil dari saya menyaksikan pertunjukan wayang kulit pada
tanggal 21 November 2017 di Pendhapa Museum Sonobudoyo pada pukul 20.00 – 22.00
WIB. Saya akan merefleksikan wayang dari sisi etik dan estetika atau dari sisi
benar-salah dan keindahan wayang kulit tersebut.
Wayang
kulit yang dipersembahkan di museum Sonobudoyo mengangkat cerita mengenai Rama,
Shinta, dan Rahwana. Museum Sonobudoyo membagi episode pada pertunjukkan wayang
kulit ini menjadi 8 episode. Episode 1 berjudul The Abduction of Shinta, episode 2 berjudul Hanoman’s Mission, episode 3 berjudul Rama’s Dam, episode 4 berjudul Anggada’s
Mission, episode 5 berjudul The Death
of Prahastha, episode 6 berjudul Tri
Gangga Looking for His Father,episode 7 berjudul The Death of Kumbakarna, episode terakhir berjudul The Death of Rahwana. Dalam satu malam dipertontonkan
satu episode untuk periode waktu 20.00 – 22.00 WIB. Episode yang dipertunjukkan
kepada saya pada hari dan tanggal tersebut adalah episode 5, yakni The Death of Prahastha.
Sinopsis
untuk pertunjukan malam tersebut adalah sebagai berikut. The Death of Prahastha consists of two scenes. The first is Pancawati
Kingdom and the characters are Rama, Laksmana, Anila, Wibisana-Rahwana’s
youngest brother who deserts to Pancawati. Rama tells his friends that he wishes
to subdue Rahwana. To rama, Wibisana reveals Rahwana’s secret power, saying
that is contains in the magic Mentawa sword. Sugriwa then orders Anila to steal
Rahwana’s sword. The second scenes is Alengka Kingdom and the characters are
Prahasta and Anila. Prahasta is the one whom Rahwana trusts with task of
guarding Mentawa sword. By mean of some trick, Anila manages to steal the magic
sword. Unfortunely, Prahasta catches him in the act and chases him. When he
reaches Alangka’s border, Anila sees a nearby obelisk. Instantly, he takes it
off the ground and kills Prahasta with it.
Episode
5 ini menceritakan kematian Prahastha-penjaga pedang magis Rahwana. Pertunjukan
kematian Prahasta ini terdiri dari dua adegan. Adegan pertama berltempat di
Kerajaan Pancawati dan para karakternya adalah Rama, Laksmana, Anila, Wibisana-saudara
laki-laki Rahwana yang melarikan diri ke Pancawati. Rama mengatakan kepada
teman-temannya bahwa ia ingin menaklukkan Rahwana. Wibisana mengungkapkan
rahasia Rahwana kepada Rama, dia mengatakan bahwa Rahwana memiliki pedang sihir
Mentawa. Sugriwa kemudian memerintahkan Anila untuk mencuri pedang Rahwana. Adegan
kedua bertempat di Alengka Kingdom dan karakternya adalah Prahasta dan Anila.
Prahasta adalah orang yang dipercaya Rahwana untuk menjaga pedang Mentawa.
Dengan sedikit trik, Anila berhasil mencuri pedang sihir itu. Sayangnya,
Prahasta menangkap basah tindakan tersebut dan mengejarnya. Ketika sampai di
perbatasan Alangka, Anila melihat sebuah obelisk terdekat. Seketika, dia
melepaskannya dari tanah dan membunuh Prahasta dengannya.
Etik
merupakan filsafat atau pemikiran kritis mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika dan ajaran moral tidak berada pada tingkat
yang sama. Ajaran moral mengajarkan bagaimana kita harus hidup, sedangkan etik
ingin mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaraan moral tertentu, atau
bagaimana kita bisa mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan
berbagai ajaran moral[1]. Berdasarkan ajaran moral dan pengertian
etik ini dalam pertunjukan wayang terkandung ajaran moral yang banyak sekali
baik dalam janturan, pocapan, ginem, suluk, tembang dan sebagainya. Dalam
cerita atau adegan kematian Prahasta ini, ajaran moral dapat dicermati pada sikap
Wibisana yang membocorkan rahasia kakaknya Rahwana kepada Rama mengenai perang
sihir Mentawa, karena Wibisana melarikan diri dan berlindung di daerah
kekuasaan Rama dan terdapat perselisihan antara Rahwana-Wibisana. Peristiwa ini
melukiskan bahwa orang terdekat, saudara laki-laki, dapat menjadi musuh apabila
tidak berhati-hati atau tidak menempatkan posisi saudara sebagai saudara maka
suatu saat orang terdekat dapat menjadi duri bagi diri kita. Selanjutnya pada
adegan Sugriwa memerintahkan Anila untuk mencuri pedang Mentawa, Anila langsung
mematuhinya. Peristiwa ini melukiskan bahwa sikap bawahan yang harus patuh pada
perintah rajanya demi kemaslahatan. Kemudian, pada adegan Prahasta dan Anila,
pada adegan ini ajaran moral dapat dilihat dari adegan Prahasta yang menjaga
pedang Mentawa sampai titik darah penghabisan. Hal ini menlambangkan tentag
kesetiaan dan amanah oleh seorang Prahasta yang telah bertanggung jawab menjaga
pedang mentawa sampai mengorbankan nyawanya.
Sedang untuk nilai
estetika, maka nilai estetika pada wayang banyak sekali. Sebagai karya seni,
pergelaran wayang meliputi beberapa cabang kesenian (seni teater, ukir, sastra,
musik). Dari unsur pelaksana dan peralatan, wayang terdiri dari dalang (sutradara), niyaga (pemain gamelan) dan pesinden (penyanyi wanita) atau gerong (kor penyanyi pria). Dari unsur
peralatannya terdiri dari wayang kulit, kelir, blencong (lampu tradisional), gedhebog (batang pisang), kothak,
cempala (kayu pemukul
kotak), kepyak (dari
kuningan), dan gamelan. Sedang unsur
pertunjukan yang bisa dilihat adalah sabetan (gerak
wayang), dan yang didengar meliputi janturan,
carios atau kandha, ginem (pocapan) suluk, tembang, dhodhogan, kepyakan, gendhing, gerong, sindhenan.
Betapa tinggi nilai
estetika pada wayang di antaranya bisa dilihat dari seni ukir wayang (tatah sungging). Pembuatan setiap tokoh
wayang, memiliki ciri dan watak tersendiri. Bineka wayang itu tidak
menggambarkan manusia secara wajar, tetapi watak berbagai tokoh dalam dunia
perwayangan. Setiap wayang melukiskan secara wajar, tetapi watak berbagai tokoh
dalam dunia perwayangan. Setiap wayang melukiskan watak tertentu dan dalam
keadaan batin tertentu. Setiap pola bentuk wayang memiliki wandha, ungkapan watak atau ekspresi
batin.
Nilai estetika juga
terdapat pada seni musiknya. Dalam pergelaran baku wayang kulit semalam suntuk,
bunyi gamelan yang mengiringinya terbagai dalam tujuh pase. Yaitu, klenengan,
talu, patet nem, patet sanga, patet manyura, tancep
kayon (penutup), dan golek. Sambil menunggu kehadiran
penonton atau tamu, pertunjukan diawali dengan klenengan dengan
gending-gendhing Sriwidana, Kadrang Slamet,dan
Pangkur, baru kemudian masuk ke talu. Selain mengandung
nilai filosofi, dalam dramaturgi sebuah pertunjukan, fungsi gending patalon sebagai
intro dari sebuah pertunjukan wayang.
Komentar
Posting Komentar